Cerpen Karangan: Septi Nofia Sari
Kategori: Cerpen Persahabatan, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 28 April 2017
“Hati-hati, Non…”
Mbak Irma berteriak melihatku menuruni tangga menuju lantai pertama
sendirian. Mungkin saat ini ia sedang berlari menghampiriku. Dan benar
saja, tak ada satu menit tangannya sudah menggenggamku erat.
“Aduuh… Non Tasya kenapa nekat turun sendiri, sih? Kenapa gak panggil mbak Irma saja sih, Non? Kan mbak Irma bisa bantu…”
“Gak pa-pa, mbak. Emang Tasya anak kecil? Lagipula mbak Irma kan pasti lagi sibuk…”
“Tapi kan mbak Irma bisa berhenti sebentar…”
“Udah, lah mbak. Lagian Tasya kan juga udah sampai bawah…”
“Iya… iya, nona cantik. Trus sekarang non Tasya mau ke mana?”
“Emm… Tasya mau ke taman belakang aja, mbak.”
“Ya udah. Ayo mbak Irma antar.”
Aku duduk di sebuah batu besar di tepi kolam taman belakang. Mbak
Irma sudah kembali ke pekerjaannya. Aku sedang menciptakan bentuk taman
ini dalam imajinasiku. Kata mbak Irma, taman belakang rumah ini luas.
Tanahnya tertutupi dengan rumput jepang nan hijau. Di sisi kanan, kiri
dan belakangnya dibatasi dengan dinding batu yang ditumbuhi lumut hias
yang indah. Sementara di depannya, adalah sebuah tangga kecil penghubung
taman ini dengan ruang dalam. Di dalam taman ini ada sebuah kolam kecil
dengan banyak ikan hias kecil di dalamnya. Di tepi kolam ini ada sebuah
batu besar tempatku duduk. Aku meraba-raba tanah, ada sebuah kerikil
kecil. Aku melemparnya ke depanku. Air kolam berkeciplak pelan. Aku
tersenyum kecil.
Meng-imajinasi-kan taman ini membuatku jadi mengimajinasikan seluruh
rumah ini. Lagi-lagi hasil imajinasi ini sangat tergantung dengan
cerita-cerita mbak Irma yang menggambarkannya dengan sangat jelas.
Lagi-lagi kata mbak Irma, rumah ini sangat megah, bahkan mbak Irma
sering menyebutnya istana. Rumah berlantai dua ini dihias dengan lantai
pualam yang indah, juga dengan tiang-tiang besar sebagai penyangganya.
Halaman depan sangat luas dengan berbagai jenis bunga menghiasinya.
Diujung halaman dipasangi gerbang masuk berukir yang tinggi sehingga
tidak memungkinkan pencuri masuk. Ada sebuah garasi di samping rumah
tempat beberapa mobil disimpan.
Masuk ke dalam rumah, di ruang tamu, ada sebuah sofa yang khusus
didatangkan dari luar negeri. Setiap sisi ruang dihias dengan sebuah
guci berukir yang tinggi. Lantai bawah terdiri dari ruang tamu, ruang
makan, dapur, beberapa kamar pembantu, kamar mandi pembantu, dan juga
ruang berkumpul dan bersantai para pembantu. Sementara lantai dua,
terdiri dari kamar ayah dan bunda, kamar kak Adit, kamar kak Nindya,
kamarku dan ruang keluarga. Semua ruang diberi fasilitas yang cukup.
Aku telah berhasil mendapatkan –di dalam imajinasiku- bentuk rumah
ini dengan seluruh isinya. Ah, bukankah itu sebuah hidup yang sempurna?
Sebuah “istana” megah dengan Raja dan Ratu yang sangat baik hati dan
menghormati seluruh pelayan, dilengkapi pula dengan seorang “pangeran”
dan dua orang “putri”, benar-benar bahagia, kan? Sayangnya, aku adalah
“putri” bungsu di “istana” ini. Dan sayangnya lagi, aku tak bisa melihat
seluruh kebahagiaan ini. Yang ada di depan mataku ini hanyalah hitam,
hitam dan hitam. Gelap dan tak ada cahaya sedikitpun. Sebuah kesialan
yang membuat “istana” ini tak jadi sempurna. Memikirkan ini membuatku
sakit… sakit yang amat sangat di ulu hatiku. Bagaimana mungkin bunda
tega melahirkanku dengan kondisi yang menyedihkan seperti ini? Bagaimana
mungkin bunda bisa-bisanya melahirkan seorang anak yang bahkan setelah
lahir hanya membuat air mata bunda terus menangis sejak dokter menvonis
anak itu tidak akan bisa melihat selamanya karena kornea matanya telah
rusak? Dan kenapa anak “pembawa sial” itu adalah aku? Sungguh hidup yang
benar-benar menyedihkan!!!
“Non Tasya mau ke mana?” suara mang Joko, satpam rumah menghentikan langkahku.
“Tasya mau jalan-jalan keluar, mang.”
“Sama siapa, non?”
“Sendiri, mang. Tasya udah ingat jalannya kok, mang. Mang Joko tenang
aja, Tasya gak bakalan kesasar, kok. Tasya udah sering keluar sama mbak
Irma.”
“Tapi, non… lebih baik sama mang Joko aja, ya? Mamang takut ada apa-apa.”
Aku berpikir sebentar.
“Ya udah, deh.”
Aku duduk di sebuah bangku di taman ini. Mang Joko sedang membeli
minuman. Aku berusaha mengusik kebosanan dengan datang ke sini.
Setidaknya suasana disini cukup berbeda dengan suasana rumah. Ada banyak
suara orang yang belum pernah kukenal dan itu jadi hiburan tersendiri
bagiku. Sebenarnya, aku berniat datang sendirian ke sini karena memang
setiap ke sini aku selalu ditemani mbak Irma. Tapi berhubung mang Joko
memaksa menemaniku, aku menurut saja. Akhir-akhir ini aku memang sangat
bosan di rumah sendirian. Ayah dan bunda sibuk dengan pekerjaan
kantornya, kak Adit juga sedang di luar kota, kak Nindya pun sibuk
kuliah. Mana mungkin aku minta mbak Irma untuk menemaniku seharian? Ah,
seandainya bu Ajeng dan bu Rini tak cuti untuk seminggu ini, pasti aku
sedang sibuk belajar dengan bacaan braile yang diajarkan mereka.
Tak terasa sudah cukup lama aku duduk di sini, tapi mang Joko belum
juga kembali. Padahal aku sudah berniat untuk pulang. Akhirnya aku
putuskan untuk pulang sendiri dan sesampainya di rumah, aku akan minta
mang Didin untuk menghubungi mang Joko bahwa aku sudah sampai rumah. Aku
beranjak sambil meraba-raba jalan dengan tongkatku. Aku cukup hafal
jalan untuk bisa sampai rumah. Beberapa langkah berjalan, tiba-tiba ada
seorang anak kecil berteriak,
“Teman-teman, lihat! Ada orang buta, kita gangguin, yuk…”
Aku baru sadar bahwa anak itu membicarakanku. Tak butuh waktu satu
menit, di depanku sudah banyak suara berteriak-teriak. Aku perkirakan
ada lebih dari lima anak di depanku sedang mengejekku. Ah, biarlah.
Lagipula itu hanya anak kecil. Aku hendak melanjutkan langkahku ketika
tiba-tiba sebuah kerikil mendarat di jidatku. Aku meraba keningku,
perih, ada sedikit air dari bekas lemparan kerikil itu.
“Ayo kita lempari lagi…”
“Jangan… nanti kakak itu tahu dan ngejar kita…”
“Gak mungkin. Dia kan buta, gimana mau ngejar?”
Mereka tertawa sambil melempariku lagi. Ingin rasanya aku menangis. Aku
tahu mereka hanya anak kecil, tapi tidakkah mereka punya sdikit rasa
kasihan? Mereka kira mudah hidup buta seperti ini?
Aku hendak menghindar namun seseorang tiba-tiba merampas tongkatku. Dan
sedetik kemudian aku terjatuh dan lututku sudah mencium jalan berkerikil
itu. aku merintih pelan.
“Hei! Anak-anak nakal! Pergi kalian!” sebuah suara berhasil mengusir
anak-anak itu. aku pastikan suara itu bukan mang Joko karena aku belum
pernah sekalipun mendengarnya. Dan aku kira dia belum tua.
“Kamu baik-baik aja?” tanyanya.
“Iya, makasih.” Jawabku sambil bangkit.
“Ini tongkat kamu.”
Aku menerimanya.
“Kamu mau pulang? Gimana kalau aku antar?”
Aku terdiam. Jangan-jangan dia mau macam-macam, pikirku.
“Kamu gak usah khawatir. Aku bukan orang jahat, kok. Oh, ya… aku Rio. Kamu Anastasya, kan?”
“Ka… kamu kok tahu namaku?”
Rio tertawa.
“Mana mungkin aku gak tahu namamu? Semua orang di kota ini juga tahu siapa kamu.”
Akhirnya aku putuskan untuk menerima tawaran Rio, meskipun dengan
perasaan gelisah. Namun rasa gelisahku lenyap saat aku benar-benar
sampai rumah. Seisi rumah sedang ramai menungguku saat aku dan Rio
sampai di depan rumah.
“Aduuh, non Tasya kemana aja? Semua panik nyariin non…” ujar mbak Irma sambil memelukku.
“Tasya, kamu kemana aja, sih? Kakak khawatir tahu…” ujar kak Nindya yang langsung menuntunku masuk ke dalam.
“Iya… iya. Maafin Tasya, ya. Tasya tadi cuma jalan-jalan keluar bentar
sama mang Joko, tapi karena mang Joko gak balik jadi Tasya pulang aja
sendirian…”
“Iya…maafin mang Joko ya, non. Mang Joko tadi lagi beli minum trus tadi
ada orang kecelakaan jadi mang Joko bantuin bentar trus waktu mang Joko
balik ke tempat non Tasya, eh non Tasya udah gak ada. Ya udah mang Joko
cepet-cepet pulang, tapi ternyata non belum sampai rumah.” Ujar mang
Joko.
“Iya, mang. Tasya maafin mang Joko, kok.”
Aku duduk di sofa sambil mengelus-elus lututku yang tadi sempat terjatuh.
“Tasya lutut kamu kenapa?” tanya kak Nindya.
Aku langsung menutupi lututku dengan rok panjangku.
“Emm… gak pa-pa, kok.”
“Kamu bohong. Coba kakak lihat.” Kak Nindya memeriksa lututku.
“Tasya, kenapa lutut kamu bisa berdarah gini, sih? Bentar kakak ambit obat merah dulu.”
Kudengar langkah kak Nindya masuk dan beberapa menit kemudian kembali.
“Kenapa bisa berdarah?” tanya kak Nindya sambil mencuci lututku dengan air hangat.
“Tadi… tadi aku jatuh di jalan.”
“Jatuh? Kenapa bisa jatuh?”
“Kayaknya tadi kesandung, deh.” Ujarku berbohong.
“Maafin kakak, ya. Kakak sibuk kuliah jadi gak bisa nemenin adik kakak yang cantik ini.” Kak Nindya memelukku.
“Iya, kak. Gak pa-pa. Aku gak pa-pa, kok. Lagipula sekarang Tasya punya teman baru, kak.”
“Teman baru? Siapa?”
“Rio… dia yang nolongin Tasya waktu aku jatuh tadi…”
“Kenapa kamu bisa nerima sembarang orang jadi temen kamu?”
“Emangnya kenapa, kak?”
“Kakak takut kamu dimanfaatin orang jahat…”
“Kayaknya Rio gak jahat, deh. Lagian tadi yang antar Tasya pulang juga Rio.”
“Hhh… ya udah. Tapi kamu harus tetep hati-hati, ya?”
Aku memeluk erat kak Nindya. Aku senang punya kakak penyayang
sepertinya. Tangan lembutnya seperti tangan lembut bunda yang mampu
mengobati sakitku.
Sejak saat itu aku jadi berteman baik dengan Rio. Rio bersedia
berteman denganku apa adanya. Rio banyak mengajariku tentang kehidupan.
Tentang kesabaran dan ketabahan. Dan tentang rasa bersyukur. Rio juga
selalu menceritakan hal-hal apapun yang ia temui. Ia selalu bercerita
tentang pemandangan indah di sekitar daerah tempat tinggalku. Pokoknya
saat bersama Rio, aku jadi tidak merasa kesepian. Baru kuketahui
ternyata Rio seumuran denganku saat ia selalu datang ke rumahku saat
sudah hampir sore. Ternyata ia mengikuti pelajaran tambahan di
sekolahnya karena ia harus mengikuti ujian nasional beberapa bulan lagi.
Ternyata Rio sudah kelas tiga SMA. Seharusnya sama denganku kakau saja
proses belajarku tidak diperlambat dengan keadaan mataku ini.
Keluargaku sangat menerima kehadiran Rio di rumah ini. Kata ayah, asal aku senang, maka ayah juga senang.
“Tasya, kamu kenapa sih? Dari tadi diam aja…” tanya Rio yang baru datang.
Aku meraba-raba tanah di pinggir batu besar dan mendapatkan sebuah kerikil yang langsung kulempar ke kolam ikan.
“Tasya…”
Aku hanya diam. Saat ini aku hanya sedang malas untuk bicara.
“Ya udah kalau kamu gak mau bicara, aku pulang aja, deh.”
“Iya… aku cerita…”
“Gitu, dong.”
“Seminggu yang lalu ada sebuah keajaiban datang ke rumahku.”
“Keajaiban?”
Aku mengangguk.
“Seorang dokter perempuan memeriksa mataku dan di bilang mataku bisa dioperasi.”
“Bagus, dong. Trus kenapa sekarang kamu malah murung?”
Aku menghela napas panjang.
“Aku senang ada kemungkinan aku bisa melihat. Tapi masalahnya mataku
harus diganti dengan kornea mata orang lain dan mana ada orang yang mau
donorin matanya untukku? Aku tahu ayahku bisa aja bayar orang berapapun
asal orang itu mau memberikan matanya kepadaku. Tapi mana ada orang
seperti itu? mana ada orang yang rela gak bisa melihat selamanya dan
diganti dengan uang?”
“Tasya… tasya. Kamu gak berubah, ya dari dulu. Kamu selalu pesimis, tahu…”
Aku hanya diam. Perasaanku sedang tidak enak dan bercampur aduk.
“Tasya… kamu harus semangat. Aku yakin pasti gak lama lagi kamu bisa jalani operasi itu. kamu harus selalu berdoa sama Alloh.”
Aku tersenyum.
Aku berbaring di ranjang. Suara gunting dan peralatan-peralatan
operasi membuat detak jantungku terdengar lebih kencang. Tanganku
disuntik dan beberapa menit kemudian aku sudah terlelap.
“Tasya…”
Seseorang memanggilku.
Aku menoleh mencari sumber suara itu. mataku masih terpejam.
“Buka matamu, Tasya.”
Aku membuka mataku. Sebuah cahaya memasuki mataku dan seseorang sudah berdiri di depanku. Aku bisa melihat!!!
“Ka… kamu siapa?” tanyaku menatapnya. Wajah dan suaranya tak asing meski aku yakin belum pernah melihatnya.
“Tasya, jangan lupain aku, ya. Jangan pernah. Selamat tinggal… aku
merindukanmu.” Ujarnya lagi sambil berjalan lurus ke depan tanpa menoleh
kepadaku sedikitpun.
Aku mencoba untuk mengejarnya namun mataku terasa berat dan berat. Dan semuanya kembali gelap.
“Tasya, kamu udah bangun, sayang?” suara lembut bunda menyadarkanku.
Aku meraba mataku yang ternyata sudah tertutup perban.
“Mata kamu udah berhasil dioperasi, sayang. Kamu harus bersyukur sama Alloh.”
Aku tersenyum.
“Tapi jangan buka perbannya sekarang, ya. Seminggu lagi kamu baru bisa membukanya.” Ujar kak Adit.
Aku sangat bersyukur akhirnya Alloh memberiku kesempatan untuk bisa
melihat dunia. Benar kata Rio bahwa sebentar lagi aku bisa melihat. Tapi
ada sesuatu yang kurang. Sudah sejak sebulan yang lalu aku sudah tidak
pernah bertemu Rio lagi. Rio tak pernah lagi datang ke rumahku padahal
aku sangat ingin menceritakan kabar gembira ini padanya.
Enam bulan setelah operasi
Aku sangat bersyukur bisa melihat semua yang ada di sekitarku. Aku bisa
melihat wajah orang-orang yang kusayangi. Aku juga bisa melihat semua
yang diceritakan Rio tentang semua peandangan indah di sekitar rumahku.
Dan aku bisa membaca dan menulis layaknya orang normal. Sayang sampai
saat ini aku belum bisa melihat wajah Rio. Rio, ke mana kamu?
“Tasya, kamu di dalam?” tanya Bunda sambil mengetuk pintu kamarku.
“Iya, Bunda. Masuk aja.”
Bunda mendekatiku dan memelukku.
“Ada apa, Bun?”
Bunda malah menangis. Aku mengusap pipi lembutnya seraya berkata,
“Kenapa Bunda menangis?”
“Tasya, kamu pasti kangen sama Rio, ya?”
Aku tersenyum.
“Mungkin Bunda harus menceritakan semuanya sama kamu.”
“Menceritakan apa, Bun? Ada yang Tasya gak tahu?”
“Tasya, sebenarnya…” bunda tampak ragu-ragu melanjutkan kata-katanya.
“Tasya janji gak kecewa kalau Bunda ceritakan semuanya?”
Aku mengangguk. Ada apa ini?
“Tasya, mata kamu… mata baru kamu adalah mata Rio.”
Aku tertegun. Aku masih tak tahu maksud perkataan bunda. Melihat keningku berkerut, bunda melanjutkan kata-katanya.
“Rio mendonorkan matanya buat kamu.”
“A… apa? Ma… maksud bunda?” aku tak percaya dengan apa yang kudengar barusan.
Bunda hanya mengangguk pelan.
“Ja… jadi… malaikat yang bersedia memberi kesempatan buat Tasya untuk
melihat adalah Rio? Jadi sekarang Rio gak bisa melihat lagi?”
“Maafkan bunda, sayang. Seharusnya sejak awal bunda bilang sama Tasya.
Tapi Rio mencegah bunda buat cerita sama kamu sebelum operasi itu karena
dia tahu…”
“Sekarang di mana Rio, bunda?”
Bunda menggeleng pelan.
“Bunda gak tahu? Gak mungkin! Bunda pasti tahu di mana Rio… ayo bunda
kita temui Rio…” aku menarik tangan bunda namun bunda tetap tak
bergeming.
“Kenapa bunda gak mau? Ya udah kalau bunda gak mau, biar Tasya minta antar kak Adit aja…” ujarku hendak keluar dari kamar.
“Tasya, Rio udah gak ada. Rio… udah dipanggil sama Alloh.”
Ucapan bunda membuatku mengurungkan niatku membuka pintu. Aku hanya bisa
berdiri mematung. Dunia serasa berhenti berputar. Bunda mendekatiku.
Tubuh hangatnya kini telah memeluk tubuhku yang sudah lemas. Yang kini
bisa aku lakukan adalah menangis. Membiarkan mata ini mengeluarkan air
yang bahkan sebelumnya aku tak pernah merasakannya. Rio… secepat inikah?
Bagaimana mungkin ini nyata? Aku bahkan belum sempat melihat wajahmu…
kenapa kamu ingkari janji kamu untuk terus menemaniku…
Aku masih menatap sebuah amplop surat besar berwarna biru di atas
meja. Bunda memberikannya setelah tangisku reda. Perlahan kuambil dan
kubuka amplop itu. Kuambil isi amplop itu. sebuah surat dan selembar
foto ukuran postcard. Kuamati foto itu, ada setitik air membasahi foto
itu. perlahan kubuka lipatan surat itu.
Assalamu’alaikum Tasya…
Pertama-tama kuucapkan selamat karena kamu udah bisa lihat dunia seperti yang selalu kamu keluhkan kepadaku…
Gimana rasanya melihat dunia, Sya?
Indah bukan?
Pasti sekarang ini kamu udah bisa lihat seluruh penghuni “istana” kamu,
kan? Kamu juga bisa membaca huruf abjad di kertas, bukan huruf braille…
kamu juga pasti udah bisa lihat beragam warna indah di dunia ini…
Dan kamu juga bisa memandangi danau tempat kita ngobrol bersama tanpa harus ada yang ceritain sama kamu, kan?
Dan yang lebih penting, kamu udah bisa baca Al-Qur’an… itu yang sangat aku harapkan…
Sya, setelah kamu bisa melihat, jangan kamu gunakan buat nangis, ya? Kamu harus selalu ceria… ok?
Sya, kamu tahu gak? Di dunia ini beratus-ratus bahkan berjuta orang yang
gak bisa lihat, bahkan ada juga yang gak bisa lihat dan dengar…
Kamu bayangkan, gimana kalau gak bisa lihat tapi juga gak bisa dengar? Rasanya dunia seperti tertutup untuknya.
Dan kamu tahu, beratus orang itu bahkan gak bisa dapat kesempatan
melihat seumur hidupnya, jangankan buat memenuhi keinginan untuk
melihat, buat makan aja susah…
Sya, kamu tahu kenapa aku ceritakan semua ini sama kamu? Karena aku gak
ingin kamu mengeluh lagi. Cukup aku aja yang selalu dengar keluh kesah
kamu. Dan mulai sekarang sampai seterusnya kamu harus selalu bersyukur
atas apa yang kamu punya.
Sya, maaf ya aku gak bisa menemani kamu lagi seperti janjiku sebelumnya.
Aku jahat, ya?
Aku bahkan belum kasih kesempatan buat kamu melihat wajahku…
Maafin aku, ya?
Sya, aku pikir aku harus katakan ini sama kamu…
Bahwa aku sangat menyayangi kamu sebagai sahabat atau bahkan mungkin
“lebih” dari itu. sejak aku mengenalmu, aku tak pernah menganggapmu lain
dari yang lain. Bahkan kamu “istimewa” bagiku. Aku bahkan mendapat
kehangatan sahabat yang jujur tak pernah kudapatkan oleh teman-teman
sekolahku.
Aku senang bisa bersahabat denganmu.
Kamu sangat berarti untukku
Sya, kamu jangan sedih ya? aku gak pernah pergi, kok. Aku akan selalu
temani kamu di setiap hari kamu meski kamu gak bisa lihat aku.
Aku akan selalu nungguin kamu sampai Alloh kasih kesempatan kita buat ketemu.
Wassalamu’alaikum
Salam sayang dari sahabatmu,
Rio…
Lima tahun kemudian
Aku menatap anak-anak tuna netra di depanku. Dari wajah mereka aku
melihat harapan besar terpancar, harapan yang bahkan lebih besar dari
anak-anak normal lain.
Aku tersenyum memandang papan bertuliskan “Yayasan Tuna Netra Dimas
Aryo” yang terpampang di gedung yayasan yang baru saja kudirikan ini.
Kuambil selembar foto berukuran postcard di saku bajuku. Rio, aku janji
akan kugunakan mata kamu untuk melihat harapan-harapan besar tetap
terkembang pada wajah anak-anak ini. Dengan rangkaian huruf di papan
itu, aku akan tetap mengenang namamu.
TAMAT
Cerpen Karangan: Septi Nofia Sari
Cerpen My Best Friend’s Eye merupakan cerita pendek karangan Septi Nofia Sari, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"
Post a Comment